Monday 19 July 2021

Gak Sefrekuensi

Jadi akhir-akhir ini aku ngerasa kata-kata “gak sefrekuensi” itu cuma jadi template yang lama-lama nanti juga pasti bakal basi. Sama halnya kaya template “kamu orang baik, kamu pasti juga bisa dapet yang lebih baik daripada aku” yang biasa dipake buat nolak perasaan orang yang gak disuka biar terkesan lebih halus, padahal tetep aja sakit, basi banget kan ya? Nah, pasti kalian pernah pernah denger kan orang bilang kalo cari pasangan itu yang sefrekuensi atau cari temen itu yang serfrekuensi biar enak ngobrolnya, biar ngobrolnya nyambung. 

Gini lho, kalo misal kalian ngobrol sama orang dan gak nyambung apa itu karena gak sefrekuensi? Menurutku enggak, menurutku ya itu mungkin karna kalian gak bisa menyesuaikan frekuensinya aja. Bisa kok, menyesuaikan dengan frekuensi orang lain tinggal mau atau enggak. 

“Tapi ada lho orang yang kalo diajak ngobrol susah terus arah obrolannya gak jelas”

Iya ada, memang ada. Tapi gak semua kan, cuma beberapa aja. Nah apa penyebabnya? Kenapa ada orang yang gak bisa diajak ngobrol dengan menyenangkan? Ada banyak hal yang bisa jadi penyebabnya. Bisa karena literasinya kurang, wawasannya kurang, tidak menguasai teknik story telling yang baik jadi kalo dia menceritakan sesuatu kadang kita susah nangkep maksudnya.

Tapi itu bukan karna gak sefrekuensi, itu karena ada hal yang tidak dia kuasai dalam berkomunikasi dan itu membuat orang yang tidak enak diajak ngobrol menjadi kurang menyenangkan atau kita menilainya gak sefrekuensi.

Jadi sebenernya yang pengen aku highlight tentang sefrekuensi dan gak sefrekuensi  itu adalah kemauannya. Orang itu mau atau enggak buat belajar gimana cara berkomunikasi yang baik, mau atau gak buat menyesuaikan frekuensinya dengan orang lain. Karna komunikasi ini melibatkan lebih dari satu orang, maka perlu dua pihak yang sama-sama mau untuk saling menyesuaikan. Kalo dalam bahasa inggris ada idiom “it takes two to tango” yang artinya perlu dua orang yang harus saling terlibat.

Jadi kalo ada orang yang bilang gak sefrekuensi sama pasangan, teman atau lawan bicaranya itu sebenernya karna salah satu atau keduanya gak mau saling menyesuaikan. Atau lebih sederhananya karena gak ada ketertarikan dalam obrolan itu. Lebih simpelnya lagi karna salah satu atau keduanya gak mau mendengar dan tidak mengharapkan adanya interaksi itu.

Kalo mau tau gimana caranya ngobrol yang seru, paling gampang belajar sama tukang sayur keliling komplek. Karena selain bawa sayur dan bahan makanan, tukang sayur bawa bahan gosip. Jadi selain untuk melancarkan komunikasi, teknik story telling juga berguna untuk pemasaran produk, bagi tukang sayur. 

Nah, apakah tukang sayur itu kalian rasa bakal sefrekuensi sama kalian? Atau apakah tukang sayur itu sefrekuensi sama ibu-ibu komplek? Aku rasa enggak, dia hanya memanfaatkan teknik story tellingnya agar mendapatkan engangement dari ibu-ibu komplek. Perkara ibu-ibu itu mau beli sayurnya atau enggak yang penting udah ada interaksi dulu dengan calon pembeli dan semakin sering ada interaksi maka kemungkinan terjadinya transaksi pembelian pasti juga akan meningkat.

Jadi bukan karna tukang sayur itu sefrekuensi sama ibu-ibu, tapi karna ada tujuan tertentu yang ingin dia capai. Tujuan itu adalah adanya transaksi pembelian, dia suka kalau ada transaksi pembelian dan dia mengharapkan adanya interaksi yang terjadi dengan ibu-ibu komplek. Sedangkan ibu-ibu komplek juga mengharapkan adanya interaksi karna mereka suka adanya gosip baru. Jadi mereka saling membutuhkan dan saling menyesuaikan satu sama lain.

Kenapa aku bahas ini? Jadi beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol sama orang yang awalnya aku pikir “wah aku pasti bakal kaku banget ini nanti kalo ngobrol.” dalam hatiku ada kekhawatiran bakal gak bisa menyesuaikan ketika ngobrol. Tapi ternyata tidak, ternyata kami bisa membicarakan banyak hal dengan susana yang cukup menyenangkan tanpa ada dead air di tengah-tengah obrolan. Sampai tidak terasa sudah tiga jam berlalu selama obrolan berjalan. Dan aku merasa kalau kami saling menyesuaikan dalam interaksi yang kami bangun saat itu.

Dan sekarang aku menyimpulkan kalo ada orang yang misalnya berpisah dengan pasangannya atau memutus interaksi dengan teman atau lawan bicaranya dengan alasan “gak sefrekuensi” aku gak setuju. Itu bukan karna gak sefrekuensi, itu karna salah satu atau keduanya gak mau saling menyesuaikan aja. Atau seperti yang udah aku bilang sebelumnya itu karna gak mau dengan adanya interaksi itu.

Tapi aku ngomong kaya gini juga bukan karna aku bisa menyesuaikan frekuensi sama semua orang. Aku juga masih belajar caranya berkomunikasi dengan baik agar bisa membangun interaksi yang baik sama semua orang. Karna aku punya temen yang dia bisa langsung akrab sama semua orang dengan cepat, jadi kemampuan adaptasinya sama lingkungan yang ada di sekitar sangat cepat termasuk sama orang yang baru kenal. Dan aku masih belajar untuk itu.

Cukup dulu tulisan uneg-unegnya, makasih kalo udah baca sampai selesai. Bye..bye..