Friday 5 February 2010

makhluk introvert

">

kita manusia yang hidup sosial, perlu adanya kebersamaan dan saling mengerti sesama. tapi terkadang ada hal yang tidak bisa dimengerti orang lain walaupun kita manusia yang memiliki derajat yang sama, karena setiap orang memiliki karakter yang berbeda dan suatu kesalahan besar bila mencoba memahami orang tanpa mengetahui apa yang tertulis di garis hidupnya. Aku pernah merasa benci dengan sekumpulan orang karena sifat introvertku, walaupun aku tahu perasaan itu hanya ledakan emosi kecilku.

Kejadian ini terjadi sewaktu aku masih duduk di bangku SMP kelas 1. Waktu itu ayahku terkena musibah kecelakaan dan di rawat di rumah sakit Margono Purwokerto. Aku bolos sekolah selama beberapa hari untuk menemani ibuku. Di rumah sakit banyak sekali orang-orang yang menjenguk ayahku, mereka datang bersama-sama sambil membawa bingkisan lalu melihar keadaan ayahku dan berkata. “aduh..” sambil mengelus dada dan mengerutkan dahinya, yang ada dalam pikiranku “apa itu acting? ekspresi berlebih? Atau perasaan yang sesungguhnya?, lalu bagaimana perasa perasaanku yang sesungguhnya dan semestinya sebagai bagian dari keluarga yang tertimpa musibah. Yang paling jujur dari perasaanku adalah “Aku tidak suka ada orang yang bersedih atau berpura-pura sedih saat mengunjungi orang yang sedang tertimpa musibah apapun alasannya simpati, empati, iba atau apapun itu aku tidak peduli! Apa maksudnya? Cukupkah ekspresi muka seperti itu menyembuhkan ayahku?”. Ada lagi yang lebih menyakitkan menurutku, ketika mereka duduk di sebelah ibuku mereka berbicara macam-macam dengan ibuku awalnya hatiku hanya berkata “Om Tante, ayah saya butuk istirahat jangan bicara keras-keras!”. Tapi ditengah perbincangan mereka salah satu dari mereka ada yang menceritakan rekannya yang katanya juga mengalami musibah yang sama dan seiring ceritanya berlanjut lebih parah. “Heh!!! Kalau mau cerita horor bukan di rumah sakit! Pergi sana!” aku menggertak dalam hati. Mataku dibanjiri air lakrimasi, aku duduk diam sambil menggenggam snak yang tak kunjung habis ku makan. Aku herah, kenapa Ibuku masih betah mendengar cerita-cerita mereka. Inikah makhluk sosial itu? Datang menjenguk, memberi bingkisan, beraut muka sedih, menceritakan pengalaman yang sama dan lebih para atau lebih tepatnya seolah menakut-nakuti lalu apa manfaatnya mereka datang? Apa yang aku dapat? Apa yang ayahku dapat? Buah kah? Atau bingkisan ini? Lalu mana do`anya? Apa ada di dalam hati? Lalu yang di cerita tadi itu apa? Bukan kah setiap kata bisa jadi do`a.

Dan saat aku kembali masuk ke sekolah, aku berharap rasa sedihku bisa sedikit hilang dan mengembalikan sisa-sisa pelajaranku yang tertinggal. Tapi saat aku datang ke sekolah tiba-tiba ada salah seorang temanku datang menghampiri lalu dia berkata “Ooo... kasihan ayahmu kecelakaan ya?” dengan ekspresi yang biasa bahkan bibirnya menyungging. Apa yang dia katakan? Apa yang dia tanyakan? Dan apa maksudnya? Aku sama sekali tidak merasa terhibur dan langsung menghindarinya. Itu sebabnya ketika aku melihat temanku bersedih atau aku tahu dia sedang terkena masalah, yang akan aku lakukan adalah duduk di sebelahnya, menepuk bahunya dan diam menunggu patahan kata yang akan keluar dari mulutnya. Aku hanya berharap kehadiranku tidak membuatnya ksepian.


racht