Wednesday 20 February 2019

Story About Diandra 03 (Tentang Arti Bersyukur)

Pagi hari pukul setengah tujuh. Waktu itu saya lagi sarapan bubur ayam, saya makan berdua bareng sama Diandra di tempat langganan makan bubur tepatnya di bubur ayam syarifah di depan GOR UNY. Setelah saya selesai makan, saya cek handphone karena ada notifikasi WA dari temen saya yang ngajak minum kopi nanti malam. Selesai saya  bales WA, lalu saya kembalikan arah pandangan saya ke wajah Diandra yang sedang minum dengan menghisap es teh menggunakan sedotan tetapi pandangan matanya menyebar kesegala arah. Sedangkan gelas tempat minumnya sudah tidak berisi air teh dan hanya tersisa serpihan es yang perlahan mulai mencair.



Dalam benak saya sedikit curiga karena nggak bisanya dia diam dengan durasi lebih dari empat menit. Saya mulai menerka-nerka dalam batin saya, apa mungkin dia baru mau kedatangan tamu bulanan, atau dia lagi ada masalah, atau hmm.. ahh entah lah. Saya menghentikan percakapan batin saya dengan mengambil gelas minum saya yang berisi teh hangat yang sudah mulai dingin dan sudah tak tampak lagi uap-uap yang tadinya mengepul naik dari mulut gelas. Disaat saya sudah berhasil mempertemukan ujung bibir gelas dengan bibir saya tiba-tiba Diandra teriak.

"Ehh Wan.. liat tuh ada cewek bule seksi gede banget itunya!"
Ucap Diandra sambil menjulurkan tangannya untuk menunjukan arah.

Spontan saya langsung memutar pandangan saya ke arah yang ditunjuk Diandra dengan isi kepala yang penuh rasa penasaran dari ucapan Diandra dengan kata-kata "gede banget itunya" dan sejauh mata saya  memandang di sepanjang Jalan Colombo sekitar GOR UNY, saya sama sekali nggak menemukan orang dengan rambut pirang dan hidung mancung selayaknya ciri-ciri orang bule pada umumnya. Yang saya temukan hanya tukang becak yang sedang duduk menunggu penumpang dan Bus TransJogja yang tiba-tiba lewat. Setelah saya mulai bosan mencari, lalu saya kembalikan pandangan saya ke arah Diandra.

"Mana? Nggak ada bule lewat?" Tanya saya sedikit kecewa karena gagal mengobati rasa penasaran.
"Yahh.. Udah lewat tadi, padahal tadi ada lho. Cepet banget itu bule jalan apa lari ya?"
Kata Diandra asal ngeles.
"Ahh bohong ah, emang apanya yang gede?"
Tanya saya memastikan rasa penasaran yang belum terobati.
"Tas carriernya itu lho yang gede, dia itu tadi bawa tas carrier. Kamu pikir apa? pasti kamu mikir yang jorok kan! Dasar cowok jorok!"
Jawab Diandra ketus.
"Halah pasti kamu bohong kan!"
Kata saya curiga dengan perasaan yang nggak enak.
"Nggak percaya ya udah."
"Ehh.. Itu yang kamu minum bukannya gelas punya ku ya?"
Tanya saya  yang kaget karena tiba-tiba gelas minum Diandra masih terisi penuh.
Dan ini adalah buah kecurigaan yang saya tanam sejak tadi melihat keanehan Diandra yang tiba-tiba diam tidak seperti biasanya. Jadi dia berusaha nge-distract saya dengan bilang kalo ada bule seksi yang lewat dan saat saya lengah karena ter-distract, lalu dia dengan sigapnya menukar gelas minum saya.

"Dihh.. enak aja, orang ini minum aku, itu yang di depan kamu tuh punyamu yang udah abis. Mentang-mentang udah abis ngaku-ngaku punya orang. Pesen lagi aja sana kalo masih haus!" Jawabnya sewot. Padahal aturan saya yang sewot, kan itu minuman saya yang dia minum. Tapi saya cuma bisa pasrah yang penting dia nggak ngambek aja.
"Yaudah aku bayar dulu aja ya." Kata saya dengan nada yang santai agar tidak memancing peperangan.
"Iyaaa..." Jawab Diandra dengan wajah bahagia.

Selesai sarapan, saya langsung anterin Diandra pulang naik motor ke kostnya karena sebelumnya dia bilang ada temennya yang mau main ke kost dia. Nah, dibalik sosok Diandra yang galak, cerewet, suka ngeles, sering ngerjain saya dan banyak hal lainnya yang terkadang menjengkelkan, ternyata dia juga menyimpan sisi baik yang selalu berhasil buat saya jatuh hati sama seperti cerita Diandra di posting yang sebelumnya. Seperti dua mata koin setiap orang selalu memiliki dua sisi yang berbeda dan begitupun dia, kira-kira mungkin seperti itu gambarannya. Saat perjalanan nganter Diandra  pulang ke kost, tiba-tiba dia minta saya buat mampir ke Indomaret yang ada ATMnya, dia bilang.

"Wan, nanti mampir Indomaret yang ada ATMnya bentar ya. Aku mau ambil uang sekalian beli pembalut." Ucapnya.
"Syiapp.. nyonyah!" Jawab saya.

Sampai di depan Indomaret, Diandra turun lalu bergegas masuk dan menghampiri mesin ATM. Tidak begitu lama Diandra keluar dari Indomaret dengan mendorong pintu  yang harusnya dia tarik karena pada gagang pintunya tertulis "Tarik/Pull" lalu berjalan begitu saja, tapi tidak menuju ke arah saya. Dengan rasa penasaran, bola mata saya serta arah pandangan wajah saya bergerak mengikuti arah Diandra berjalan. Terlalu seringnya Diandra menyimpan gimmick-gimmick usil yang sering mengecoh, membuat saya selalu curiga dengan segala tingkahnya. Dalam hati saya bilang.

"Ini anak mau kemana lagi nih? Mau pulang jalan kaki? Atau jangan-jangan ada orang lain yang jemput dia?"

Tapi ternyata semua dugaan saya itu salah. Diandra menghampiri seorang ibu yang sudah cukup tua yang duduk bersandar di dinding di depan samping Indomaret. Raut wajah ibu itu tampak lelah dan berkeringat tapi bibirnya tetap bisa tersenyum lebar saat Diandra menghampirinya. Dia menjual Ubi, Jagung, Singkong dan beberapa buah-buahan yang ditata berjejer rapi di depannya. Di depan pandangan saya terlihat jelas Diandra juga ikut tersenyum bersama ibu itu. Saya nggak tau persis percakapan apa yang sedang mereka bicarakan, tapi yang jelas bisa saya rasain adalah saya ngrasa ikut senang melihat mereka.

Tiba-tiba saya nggak sengaja melihat ada cahaya kecil berkilau yang tampaknya itu adalah air mata si ibu yang menetes lalu mereka berpelukan. Tentu saja hal itu membuat saya terkejut dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mereka bicarakan. Setelah itu Diandra berdiri dan berjalan menuju ke arah saya dengan senyum cerah di wajahnya.

"Ibu itu kasihan ya." Ucap saya dengan masih memandangi ibu itu dari jauh
"Heh..! Kamu nggak boleh gitu." Sahut Diandra yang sudah ada dihadapan saya.
"Loh.. Kenapa?"
"Nih aku kasih tau ya, ibu itu walaupun udah tua tapi masih mau usaha buat jualan dan nggak ngemis. Sikap yang harus kamu tunjukin itu bukan kasihan tapi kamu harusnya menghargai usahanya. Karena nggak semua orang ingin dikasihani, tapi setiap orang pasti ingin dihargai. Nih, aku beli dari ibu itu" Kata Diandra sambil menunjukan beberapa ubi ungu yang dibungkus plastik yang dia bawa.
"Ohh.. iya..iya.."
"Jangan cuma Ohh aja, kamu harusnya juga malu sama ibu itu. Masa baru gagal bikin usaha sekali aja udah nyerah, coba lagi lah siapa tau gagal lagi usahanya.. hahaa.."
"Kok endingnya gak enak sih?"
"Hahahaa.. Ya nggak gitu, maksudnya kalau yang namanya usaha kan nggak selalu langsung bisa berhasil ada prosesnya. Siapa tau abis gagal terus bisa berhasil."

Begitu kata Diandra, dari situ saya jadi tau kalau ada sisi baik dari Diandra yang selama ini selalu tertutupi dari sifat jailnya. Dan dari Diandra juga, saya jadi tahu tentang arti bersyukur yang sebenarnya. menurutnya, bersyukur itu bukan ketika berkata "Alhamdulillah, ternyata masih ada banyak orang yang masih tidak seberuntung aku." Walaupun diawali dengan kata Hamdallah, menurut Diandra itu bukanlah wujud dari rasa syukur tetapi itu justru menggambarkan kesombongan secara tidak langsung. Diandra pernah bilang.

"Kalau kamu merasa jadi orang yang beruntung lalu kamu bersyukur itu seolah-olah kamu merendahkan orang lain yang masih belum beruntung. Bersyukur itu bukan dengan merasa beruntung dengan apa yang sudah kamu dapat, tapi juga harus bisa berbagi dengan hal-hal yang bermanfaat."

Sejak saat itu saya merasa beruntung pernah dekat dengan Diandra, dan dengan saya membagikan cerita ini harapannya bisa bermanfaat buat kalian yang baca. Karena buat orang yang introvert dan anti sosial semacam saya, bisa dekat dengan orang yang memiliki jiwa sosial dan bisa memahami keadaan dari sesamanya itu semacam anugerah. Ya walaupun pada akhirnya saya dan Diandra kembali dipisahkan oleh takdir, tapi setidaknya ada hal positif dari Diandra yang bisa saya  ambil.





Bersambung...